Minggu, 08 Februari 2015

10 Fakta Sejarah Letusan Spektakuler Tambora



Tahun ini genap 200 tahun erupsi mahadahsyat Gunung Tambora, yang mendera Nusantara dan penjuru dunia.



Pada April 2015, dunia mengenang letusan mahadahsyat Tambora yang terjadi tepat 200 tahun silam. Gunung yang berlokasi di Sumbawa itu, mulai mengeluarkan suara gelegar batuk-batuknya pada 5 April 1815. Hujan abu mendera kawasan sekitar terus berlanjut. Gelegar mahadahsyat pun membahana yang mengungkapkan amarahnya pada lima hari kemudian.



Smithsonian Museum of Natural History menempatkan Tambora sebagai gunung berapi dengan Indeks Letusan Gunung Berapi (VEI) tertinggi, yakni 7. Berikutnya, indeks 6 disandang oleh Huaynaputina (Peru-1600), Krakatau (Indonesia-1883), Santa Maria (Guatemala-1902), dan Pinatubo (Filipina-1991). Kemudian Vesuvius (Italia-79) dan Mount St. Helens (Amerika Serikat-1980) berada pada indeks 5.



Berikut ini sepuluh fakta sejarah terkait dengan erupsi Tambora:



1. Erupsi Terdahsyat dalam Ingatan Manusia



Letusan Tambora telah dikenang sebagai erupsi terdahsyat dalam sejarah ingatan manusia. Tambora setidaknya telah memuntahkan abu dan batuan piroklastik sebanyak seratus kilometer kubik! Lebih dahsyat ketimbang Krakatoa yang melampiaskan isi perutnya hampir 20 kilometer kubik, atau Huaynaputina yang memuntahkan 30 kilometer kubik. Bahkan Vesuvius dan Pinatubo sekadar memuntahkan jeroannya kurang dari sepuluh kilometer kubik.



2. Tumbal Terbanyak



Dari 12.000 warga yang mendiami pinggang Tambora, nyaris seluruhnya binasa dalam sehari pada letusan pertamanya, terempas abu vulkanik dan aliran piroklastik. Dari jumlah tersebut, hanya 26 yang selamat. Korban untuk Pulau Sumbawa dan Lombok sekitar 92.000 orang. Mereka tewas karena berbagai penyakit dan kekurangan pangan.



Sementara, letusan Krakatau “hanya” membinasakan sekitar 36.600 orang. Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii dan Kota Herculaneum pun “hanya” membinasakan kurang dari 20.000 orang.



3. Badan Hilang Sepertiga



Sebelum erupsi 1815, Gunung Tambora berbentuk kerucut vulkanik tinggi atau stratovulcano. Betapa spektakuler erupsi Tambora karena telah memangkas tinggi gunung tersebut menjadi 2.851 meter, yang awalnya sekitar 4.000 meter.



4. Semua Keliru Menerka



Gelegar Tambora telah menimbulkan gelombang kegaduhan dan keheranan. Raffles mengira suara gemuruh yang didengarnya di Bogor merupakan suara tembakan meriam dari jarak jauh. Soal gemuruh dan bencana abu, warga Gresik memiliki interpretasi yang unik. Mereka yakin bahwa suara gemuruh dan kelabunya langit lantaran Nyi Loro Kidul, yang berkuasa di pantai selatan Jawa, tengah menyelenggarakan pesta pernikahan salah satu anaknya.



Dalam kesempatan itu, menurut mereka, meriam-meriam gaib ditembakkan. Warga Gresik memaknai abu yang menjatuhi kotanya sebagai ampas dari amunisi supranatural tersebut. Gemuruh yang sama juga menggemparkan warga Bengkulu, sekitar 2.600 kilometer dari pusat ledakan! Salah seorang tetua adat mengatakan bahwa suara itu merupakan sebuah “pertunjukan antara skuadron jin dan para arwah leluhur warga yang sedang menuju ke nirwana.”



5. Terekam Catatan Warga Setempat



“Hijrah Nabi salla’llahi ‘alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal… Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam...” demikian naskah Bo’ Sangaji Kai, yang merupakan catatan Kerajaan Bima.



Sementara naskah semasa asal Makassar memerikan, “...Tambora pun menyala. Sampai berapa-berapa hari menyala api digunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu... berapa-berapa ribu orang mati terbakar itu.”






Sebagian repihan rumah dan tali tambang di Desa Oibura, pinggang Tambora, yang ditemukan Balai Arkeologi Denpasar. Mereka juga menemukan berbagai wadah porselen asal Cina, botol Eropa, dan rangka manusia yang tertimbun lapisan limpahan awan panas dan batuan. Kehidupan di kawasan ini pernah binasa karena erupsi Tambora pada 1815. (Balai Arkeologi Denpasar)


6. Memerahkan Salju Eropa



“Salju terlebat yang pernah dikenal di negara itu, turun di Terrano, Italia, pada 31 Desember,” demikian berita Niles’ Weekley Register yang terbit pada Sabtu, 18 Mei 1816. “Salju itu berwarna merah dan kuning! Fenomena itu menimbulkan kehebohan karena ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.” Pada saat itu semua orang belum menyadari penyebab memerahnya salju Eropa.



7. Kemunculan Novel “Frankenstein”



Bencana musim dingin dengan kilat yang menyambar-nyambar itu telah menginspirasi Mary Wollstonecraft Shelley. Kala itu dia tengah melancong ke Jenewa dalam liburan musim panas, Mei 1816. Dalam pelancongannya, Mary menggubah sebuah novel fiksi ilmiah dan berbumbu horor berjudul Frankenstein; or, The Modern Prometheus.



Karya itu terbit dalam tiga jilid di London pada 1818. Kesohoran kisah itu telah menginspirasi film-film horor pada abad berikutnya dan melegenda hingga kini—berkah bencana. Seperti orang-orang Eropa semasanya, tak satu pun yang tahu mengapa musim panas telah menghilang pada tahun itu.



8. Peneliti Pertama Tambora



Heinrich Zollinger, yang merupakan ahli botani asal Swiss, merupakan peneliti pertama yang berjejak di Tambora pascaletusan dahsyat. Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia. Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.



9. Saksi Perupa di Eropa



Lukisan para pelukis Eropa yang dibuat dalam periode singkat setelah masa erupsi Tambora menunjukkan warna matahari terbenam yang lebih kuning, lebih merah atau lebih oranye. Warna tersebut disebabkan kandungan debu yang tebal dalam atmosfer. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa peristiwa yang sama juga direkam oleh para pelukis Eropa tatkala Krakatau bererupsi pada 1883.



10. Kaitan Gunung Api dan Cuaca



Pelajaran erupsi mahadahsyat yang dilampiaskan Tambora telah menyadarkan manusia bahwa terdapat pertalian antara aktivitas vulkanik dan perubahan cuaca. Pada 1816, kawasan Eropa terancam kekurangan pangan karena ternak dan tanaman binasa. Pada masa yang sama, suhu tak menentu di kawasan Amerika belahan utara yang dilanda suhu panas dan dingin.



Sementara, Amerika bagian timur laut justru dilanda suhu dingin yang mencekam. Burung-burung liar bermigrasi dan menghuni rumah-rumah. Petani menderita kegagalan panen tanaman pangan dan sayuran, pasokan makanan. Para tukang batu menghentikan pekerjaan mereka lantaran adonan semen membeku. Dunia mengenang fenomena cuaca aneh pada 1816 dengan sebutan: "Year Without A Summer"—Tahun Tanpa Musim Panas.






Erupsi Mount Mount St. Helens (Amerika Serikat)


Dampak Tambora telah mengingatkan kita tentang dera bencana gempa bumi dan tsunami di negeri untaian gunung berapi ini. Bagi Indonesia, bencana bukanlah sekadar masa lalu, tetapi juga kehidupan kini dan kelak.



Kini, Tambora telah terlelap dalam istirahat yang panjang setelah letusan terakhirnya pada 1913, atau 102 tahun silam. Berdasar sejarah erupsi Tambora, periode erupsi gunung tersebut berkisar antara 3 hingga 89 tahun.



“Gunung Tambora saat ini perlu diwaspadai,” ungkap Agus Budiono selaku kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunungapi, yang berkantor di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. “[Perlu] upaya mitigasi berupa monitoring aktivitasnya [dengan] lebih saksama agar aktivitas erupsi dapat diprediksi sedini mungkin, sehingga korban jiwa dapat diminimalkan.”



Sumber: National Geographic





DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar