Penyerangan markas tabloid Charlie Hebdo oleh kelompok bersenjata menewaskan 12 orang. Pemimpin redaksi Stephane Charbonnier alias Charb turut menjadi korban dalam penyerangan ini.
Dilansir dari AFP Stephane tewas dalam serangan Rabu (7/1). Selain itu Kartunis Charlie Hebdo, Jean Cabut alias Cabu ikut tewas dalam serangan tersebut.
Stephane diketahui sudah beberapa kali mendapat ancaman pembunuhan akibat publikasi tabloidnya yang kerap menghina Islam. Dalam serangan maut ini dua kartunis lain Tignous dan Wolinski serta sembilan anggota redaksinya juga meregang nyawa.
Informasi dari kepolisian menyebut 12 orang termasuk aparat, 10 terluka, dan empat lainnya kritis.
Sejarah Muncul
Tak banyak yang kenal nama Tabloid Charlie Hebdo, kendati pada 2011 kantor mereka di Ibu Kota Paris, Prancis, pernah diserang molotov. Ini adalah media massa bertema satir politik paling konsisten di Negeri Anggur dalam hal menghina simbol-simbol agama.
Tabloid ini didirikan para jurnalis dan kartunis alumnus Majalah Hara-Kiri yang sering mengkritik pemerintah.
Sejak 1969, Charlie Hebdo rutin mengangkat kritik pada kalangan ekstrem kanan, baik dari Katolik, Yahudi, maupun Islam. Kendati demikian, seperti dilansir Daily Mail, Kamis (8/1), Nabi Muhammad mulai sering jadi bahan lelucon lima tahun terakhir. Terakhir, pemimpin umat muslim itu pernah digambarkan dalam pose pornografis. Khalifah Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) Abu Bakar al Baghdadi tak luput dari hinaan Charlie Hebdo.
Sikap politik redaksi mirip dengan Koran Jyllands-Posten dari Denmark yang dulu menghebohkan karena menggambar sosok Nabi Muhammad.
Charlie Hebdo sempat berhenti terbit pada 1981 karena persoalan keuangan. Namun investor baru pada 1992 menghidupkan kembali tabloid tersebut. Sebelum rutin menghina Islam, mingguan ini rutin mengolok-olok sosok Yesus Kristus maupun rabi Yahudi.
Christian Science Monitor melaporkan, tiras tabloid ini tidak besar, tapi memiliki penggemar loyal di Prancis. Per minggu mencapai 30 ribu eksemplar.
Tak lama selepas penembakan terjadi sore kemarin, Pemimpin Redaksi Gerard Biard mengaku sangat terpukul. Dia selamat lantaran menghadiri acara di London, Inggris.
Dia mempertanyakan bagaimana bisa teror dari fundamentalis Islam bisa terjadi di Prancis yang sekuler. Biard pun mengutuk aksi tiga pelaku yang dianggapnya tak bisa menerima kebebasan pers. "Sebuah surat kabar bukanlah alat perang."
Sedangkan Stephane Charbonnier, editor desk kartun terbunuh kemarin sore, sejak 2007 aktif menangkis kritik atas kartun-kartun mereka yang menghina Islam.
Pernyataan kontroversial itu dia ulang usai kantornya diserang molotov pada 2011. Di tahun yang sama, Charbonnier dipanggil pengadilan karena ngotot tidak salah memuat gambar hinaan atas Islam.
"Muhammad tidak suci bagi saya," ungkapnya tegas. Bagi Charbonnier, Prancis adalah negara sekuler sehingga kebebasan berpendapat dijamin pemerintah.
"Saya hidup berdasarkan undang-undang Prancis. Saya tidak hidup berdasarkan undang-undang Syariah sesuai Al Quran," kata Charbonnier.
Kemarin, 7 Januari 2015, Tiga orang berpakaian hitam-hitam memasuki gedung, menanyakan mana yang bernama Charbonnier. Tak lama, dia tewas ditembak dari jarak dekat, bersama 12 orang lain termasuk dua polisi. Sementara 10 jurnalis dan pegawai lainnya cedera parah.
Penyerang dikabarkan sempat menanyakan satu per satu nama pekerja di Charlie Hebdo sebelum akhirnya membunuh semua kartunis dan editor tabloid rasis itu.
Menurut jurnalis dari stasiun televisi Europe1 News Pierre de Cossette salah satu dari pelaku berteriak, "ini pembalasan atas penghinaan Nabi Muhammad SAW".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar