Bencana gempa dan tsunami Aceh, 10 tahun lalu, yang menelan 200.000 korban jiwa, punya makna tersendiri buat penjalanan hidup Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Dari situlah maskapai Susi Air yang didirikan menjadi besar. Awalnya maskapai perintis itu cuma punya dua pesawat untuk mengangkut lobster dari Pulau Simeuleu, Aceh.
"I never dream for Susi Air. Pesawat tadinya hanya untuk membawa hasil laut. Mungkin tanpa tsunami saya tidak di sini," kata Susi saat membuka seminar internasional dalam rangka mengenang 10 tahun gempa dan tsunami Aceh di Jakarta, Senin 24 November 2014.
Susi juga menyebut mungkin dia sekarang tidak menjadi menteri, jika tidak ada tsunami di Aceh. Susi mengakui dari bencana di Aceh, mendapat banyak pelajaran berharga dengan terlibat langsung dalam penanganan bencana.
"Tsunami 2004, membawa pesawat kecil saya ke Aceh. Ini adalah pengalaman personal saya di kemanusiaan, cinta, semangat, kepedulian kepada sesama," kata Susi dengan mata berkaca-kaca.
"Saya waktu itu baru punya 2 unit pesawat kecil untuk angkut lobster. Tapi melalui tsunami saya mendapat banyak relasi dan cinta, untuk memberi dan berbagi."
Awal Cerita
Cerita berawal ketika bencana gempa tektonik dan tsunami memporak-porandakan kota Serambi Mekkah pada 26 Desember 2004.
Kala itu, bantuan kemanusiaan mengalir deras baik dari dalam maupun dari luar negeri. Namun bantuan tidak bisa menembus daerah bencana dan menumpuk di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Tsunami menghancurkan akses darat, sehingga bantuan tidak bisa disalurkan.
Dalam kondisi ini Susi berinisiatif mengirimkan bantuan melalui pesawat udara. Bersama suaminya saat itu Christiant, Susi terbang menggunakan Cessna Caravan. Ssatu-satunya pesawat yang dia operasikan melalui bendera PT ASI Pudjiastuti.
"Sumbangan titipan dari banyak teman," ujar Susi kala itu.
Daerah pertama yang dituju oleh ibu tiga anak ini adalah Pulau Simeuleu, yang merupakan pulau terdekat dari pusat bencana. Namun, ia tidak bisa langsung masuk ke pulau itu, karena masih dinyatakan tertutup pada Senin itu. Pesawatnya baru bisa mendarat di Pulau Simeuleu pada hari kedua. Susi menjadi orang pertama yang berhasil mendarat di Aceh.
Pontang panting dan kerja keras Susi di Aceh kemudian tersebar melalui mulut ke mulut. Keberhasilan Susi menembus daerah bencana ini kemudian menjadi titik awal kesuksesannya dalam usaha bisnis penerbangan. Awal mulanya maskapai perintis tersebut cuma punya dua pesawat untuk mengangkut lobster dari Pulau Semelu, Aceh.
"I never dream for Susi Air, pesawat tadinya hanya untuk membawa hasil laut. Mungkin tanpa tsunami saya tidak di sini dan tidak kenal bapak Kuntoro Mangkusubroto," ucap Susi dalam membuka seminar internasional dalam rangka mengenang 10 tahun gempa dan tsunami Aceh di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (24/11) lalu.
Susi menyebut mungkin dia sekarang tidak menjadi menteri jika tidak ada tsunami di Aceh. Susi mengakui dari bencana di Aceh, dia mendapat banyak pelajaran berharga dengan terlibat langsung dalam penanganan bencana itu.
"Tsunami 2004, membawa pesawat kecil saya ke Aceh. Ini adalah pengalaman personal saya di kemanusiaan, cinta, semangat, kepedulian kepada sesama. Saya waktu itu baru punya 2 unit pesawat kecil untuk angkut lobster. Tapi melalui tsunami saya mendapat banyak relasi dan cinta, untuk memberi dan berbagi," kata Susi.
Cerita Susi tidak berhenti di sini, keberhasilannya di Aceh membuat Susi sukses membantu masyarakat waktu bencana di Pangandaran. Bencana tsunami di Pangadaran kala itu tidak dinyatakan pemerintah sebagai bencana nasional. Di sini Susi mengambil peran dan mengimplementasikan pelajaran yang dia dapat dari bencana tsunami Aceh.
"Ada ratusan korban. Banyak yang perlu diamputasi namun rumah sakit penuh karena terbatas. Mereka tidak bisa dibawa, kami sedih sekali, sangat banyak keterbatasan, karena tidak masuk sebagai bencana nasional," kenangnya.
Kini, 10 tahun sudah bencana itu berlalu. Ketika mengenang kejadian ini, Susi sesekali meneteskan air mata. Membuka acara seminar internasional mengenang 10 tahun bencana gempa dan tsunami Aceh ini, Susi terlihat sesekali tertegun dan menghapus air matanya. Bahkan ketika konferensi pers, Susi masih mengelap mata dan hidungnya dengan tisu.
Dalam sambutannya, Susi menyebut korban jiwa bencana Aceh sangat besar dibandingkan kejadian Jepang karena tidak adanya peringatan dini tsunami. Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat dan tidak adanya sarana dan prasarana evakuasi kawasan bencana.
"Dengan acara ini kita bisa melihat kemanusiaan, saling membantu. Ini pribadi dari pengalaman saya," kata Susi.
Namun demikian, Susi sesekali juga terkenang kisah lucu saat menyalurkan bantuan tsunami itu. Cerita itu bermula ketika Susi berada di Bandara Sultan Iskandar Muda, dia melihat seorang pria relawan dari Eropa mondar-mandir di apron bandara, sambil memanggil-manggil nama Susi. "Susi! Susi, where are you?"
Merasa namanya dipanggil, Susi datang menghampiri pria itu. "Anda mencari Susi? Saya ini, Susi!" tutur dia. Tetapi, pria itu malah menggelengkan kepala. "Maaf, bukan. Bukan kamu. Saya mencari Susi, Susi Air. Di mana perwakilan kantornya di sini?"
Susi pun tersnyum. "Tidak ada Susi Air, Sir! Apalagi kantornya...! Yang ada cuma Susi, ya, saya ini!"
Pria itu akhirnya paham, Susi itulah yang memiliki pesawat Cesssna untuk mengantarkan bantuan. "Oke, oke! Kamu, Susi punya Cessna? Good! Bisa bantu drop logistik kami?"
"Boleh saja, nanti setelah pesawat saya itu balik lagi ke bandara ini. Tetapi, Anda harus ganti minyaknya (bahan bakar), ya," jawab Susi.
"Ya, ya, tentu. Kami bayar, kami sewa," jawab relawan Eropa itu.
(*Az/sumber: Merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar