You call yourself a Christian, I call you a hypocrite You call yourself a patriot. Well, I think your are full of sh*t!... How come youÃre so wrong, my sweet neo-con
Oleh Riza Sihbudi
ITULAH sepenggal lirik lagu baru dari kelompok musik legendaris The Rolling Stones yang berjudul Sweet Neoco. Neocon (neo-konservatif) adalah sebutan lain dari kelompok hawkish yang sejak 2001 sepenuhnya mengendalikan kebijakan luar negeri dan pertahanan Amerika Serikat (AS).
Sejak kaum hawkish berkuasa di AS, situasi politik internasional justru bagaikan hutan rimba. Hukum internasional digantikan oleh hukum rimba, siapa kuat akan menang, kekuatan adalah kebenaran, dan yang paling ironis adalah ketika akumulasi kebohongan akhirnya diterima menjadi kebenaran.
Sepak terjang kaum hawkish itulah yang menuai banyak kritik dari berbagai kalangan yang masih mau berpikir kritis dan rasional, seperti lirik lagu yang dilantunkan oleh musisi Mick Jagger dan kawan-kawan di atas: ''Kamu mengaku Kristen, tapi aku menyebutmu seorang hipokrit, kamu mengaku pahlawan, tapi aku pikir kamu pembohong besar''.
Sebutan yang memang sangat tepat bagi kaum hawkish adalah hipokrit dan pembohong besar.
Invasi AS ke Afghanistan dan Irak adalah bukti kebohongan kaum hawkish. Begitu pula dengan isu terorisme pascaserangan 11 September 2001. Sementara isu demokrastisasi dan hak-hak asasi manusia menjadi cermin kehipokritan mereka.
Siapa Kaum Hawkish?
Siapa sebenarnya yang disebut sebagai kaum hawkish atau neo-konservatif itu? Justin Raimondo dalam artikelnya, No Sympathy for the Neocons (Antiwar.com, 10 Agustus 2005) mengatakan, mereka adalah para mantan kaum kiri (lefties) AS yang karena alasan pragmatisme kemudian berbalik menjadi sangat kanan (rightists).
Trias Kuncahyono dalam bukunya, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish (2005), antara lain menyebutkan bahwa cikal-bakal kelompok ini sudah ada sejak 1992, namun baru pada 1997 mereka secara resmi membentuk tangki pemikir (thing tank) yang mereka sebut sebagai the Project for the New American Century (PNAC).
Tujuan utama PNAC, seperti ditulis William Rivers Pitt, adalah: ''The establishment of a global American empire to bend the will of all nations. They chafe at the idea that the United States, the last remaining superpower, does not do more by way of economic and military force to bring the rest of the world under the umbrella of a new socio-economic Pax Americana'' (www.informationclearinghouse.info, 25 Februari 2003).
Intinya, membangun sebuah imperium global di bawah payung Pax-Americana. Untuk itu, AS harus memperkuat ekonomi dan militernya, serta sebuah kebijakan luar negeri yang tegas. Dengan kata lain, Pax Americana adalah gagasan kaum hawkish tentang ''kekaisaran Amerika'' yang meliputi seluruh dunia atas dasar ideologi ''internasionalisme Amerika'', di mana salah satu strategi militernya didasarkan pada pandangan bahwa The best defense is a good offense (doktrin pre-emptive strike).
Kelompok hawkish yang dimotori tiga tokoh utamanya, Dick Cheney (Wapres), Donald Rumsfeld (Menhan), dan Paul Wolfowitz (mantan Presiden Bank Dunia), sudah sejak 1998 mendesak pemerintahan AS (waktu itu di bawah Bill Clinton) untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein di Irak.
Tujuannya tidak lain untuk menguasai ladang-ladang minyak Irak guna mendukung ambisi pembentukan ''kekaisaran Amerika''. Jadi, bohong besar, jika invasi ke Irak dilakukan lantaran Saddam terlibat dalam serangan teroris 11 September 2001, atau karena kepemilikan senjata pemusnah massal (WMD).
Bush dan para kroninya bahkan tidak mampu mempertanggungjawabkan miliaran dolar proyek rekonstruksi Irak. Karenanya, sama sekali salah menganggap AS sebagai negara yang bersih dari para koruptor besar. Beberapa waktu lalu, seorang jenderal AS di Irak dipecat lantaran mencoba membongkar korupsi di tubuh para kroni Bush.
Dua peristiwa yang dianggap sebagai momentum penting bagi kaum hawkish untuk sepenuhnya mengendalikan pemerintahan di AS, adalah terpilihnya GW Bush dan terjadinya serangan teroris 11 September 2001. Sejak Bush memangku jabatan presiden pada Januari 2001, para penyusun ''impian imperium PNAC'' kemudian tampil sebagai pengendali utama Pentagon dan Gedung Putih.
Lalu, tragedi 11 September menjadi jalan bagi mereka untuk mengubah gagasan yang mereka susun dalam Buku Putih menjadi sebuah rumusan kebijakan, yang kemudian dijalankan Bush. Dalam menjalankan kebijakannya, terutama atas nama memerangi terorisme, Bush dan kaum hawkish seringkali tidak mengindahkan norma-norma hukum dan hubungan internasional, termasuk melakukan intervensi dan invasi ke negara-negara lain.
Bush (yang selalu menyebut dirinya sebagai seorang war president) dan para kroninya berusaha melakukan intervensi yang terlalu jauh terhadap negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, dengan misalnya membujuk dan menekan sejumlah pesantren di Indonesia untuk merevisi kurikulum pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah keislaman lainnya. Dengan sesuka hati, Bush dan para kroninya mengaitkan pesantren dengan terorisme.
Padahal, sebagaimana pernah dikatakan Presiden RI (waktu itu) Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya pada KTT OKI di Putrajaya, Malaysia (Oktober 2003), bahwa sumber dari segala maraknya terorisme yang terkait dengan Islam adalah justru ketidakadilan dan politik standar ganda AS terhadap bangsa-bangsa muslim, khususnya di Palestina, Afghanistan dan Irak, serta pembelaan yang berlebihan AS pada Israel.
Teologi Perang George W Bush
Jika banyak teroris lokal (kelompok Azahari-Noordin M Top) dituduh oleh para ulama sebagai telah memanipulasi ajaran agama (Islam) untuk melakukan aksi-aksi teror mereka, maka Bush dan kaum hawkish pun dituduh telah memanipulasi ajaran agama (Kristen) untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka dengan melancarkan invasi ke Afghanistan dan Irak.
''You call yourself a Christian, I call you a hypocrite,'' kata The Rolling Stones.
Tentu bukan hanya Mick Jagger dan kawan-kawan yang mengecam Bush dan kaum hawkish. Pada Juni 2003, atau sekitar tiga bulan setelah invasi AS ke Irak, GW Bush mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Palestina di resor Sharm el-Sheikh (Mesir). Tokoh-tokoh Palestina yang hadir di antaranya, PM (sekarang Presiden) Mahmoud Abbas dan Menteri Luar Negeri (saat itu) Nabil Shaath.
Kepada Abbas, Bush mengatakan, ''I am driven with a mission from God. God would tell me, ëGeorge go and fight these terrorists in AfghanistanÃ. And I did. And then God would tell me ëGeorge, go and end the tyranny in IraqÃ. And I did''. (''Saya menjalankan misi Tuhan. Tuhan mengatakan kepada saya, O George perangilah para teroris di AfghanistanÃ. Dan saya sudah lakukan. Kemudian Tuhan mengatakan, O George hancurkanlah tirani di Irak. Dan saya sudah lakukan'').
Cerita tersebut diungkapkan oleh Nabil Shaath kepada jaringan televisi BBC London dalam acara yang diberi tajuk Elusive Peace: Israel and the Arabs yang ditayangkan pada 10, 17, dan 24 Oktober 2005. Kendati dibantah oleh jurubicara Gedung Putih, Scott McClellan (yang mengaku tak hadir dalam pertemuan di Mesir itu), cerita Nabil Shaath itu dibenarkan
oleh Mahmoud Abbas. Menurut Abbas, saat itu Bush memang menyebut ''I have a moral and religious obligation...'' (''Saya memiliki kewajiban moral dan keagamaan'').
Komentar Bush itu memancing kemarahan di kalangan tokoh-tokoh nasrani sendiri. Andrew Blackstock, Direktur Christian Socialist Movement, mengatakan, jika Bush benar-benar ingin mematuhi ajaran agama, maka ia seharusnya berpijak pada apa yang sudah jelas-jelas tersurat dalam Al-Kitab, bukannya menonjolkan hal-hal yang gaib.
Itu akan membuat kebijakannya lebih bermanfaat bagi kaum lemah yang terpinggirkan. Sungguh suatu hal yang benar-benar mengejutkan, di sebuah negara super maju dan super sekuler, justru ada seorang presiden yang mengaku menjalankan kebijakannya atas dasar wangsit dari Tuhan. Ia tak ubahnya seorang kepala suku terbelakang di benua Afrika sana.
Pada September 2005, tokoh-tokoh senior Gereja Inggris mempertanyakan ''hak moral'' AS dalam kebijakan luar negerinya. Para uskup dari Bath and Wells, Oxford, Coventry, and Worcester, dalam laporan 100 halaman berjudul Countering Terrorism: Power, Violence and Democracy Post 9/11, antara lain menekankan pengaruh negatif dari teologi palsu kaum hawkish dan fundamentalis di AS.
Menurut mereka, tidak ada satu bangsa pun di dunia yang mempunyai hak-hak istimewa. Tidak ada satu pun negara yang berhak memandang dirinya sebagai bangsa penebus dosa, yang dipilih oleh Tuhan sebagai bagian dari rencana yang sudah ditakdirkan Tuhan.
Bush yang sejak 1985 dibabtis menjadi seorang Kristen Evangelis, dituduh telah mendeklarasikan hukumnya sendiri bahwa peperangan adalah kehendak Tuhan.
Sebuah tangki pemikir Inggris bernama Ekklesia mengatakan, menghubungkan iman Yesus Kristus yang adalah juru damai dengan kebijakan yang bertanggung jawab untuk pembinasaan dan kematian adalah suatu penyalahgunaan agama untuk tujuan politis yang harus dijauhi para pemuka gereja lantaran dapat memancing kemarahan umat Islam.
Yesus jelas menyerukan pada para pengikutnya untuk menjadi juru damai. Jadi aneh jika ada yang mengaku sebagai pengikutnya yang fanatik tapi justru melancarkan pemboman dan pembunuhan.
Ekklesia mengkhawatirkan pandangan ekstrim Bush dan kaum hawkish itu akan membuat kalangan muslim memandangnya sebagai sebuah Perang Salib. Mereka menyerukan pada kalangan pemuka gereja untuk mengoreksi pandangan Bush dan kaum hawkish.
Pada pemilu akhir November 2004, Bush dituduh telah ''memainkan kartu Tuhan''. Konon, pendeta terkemuka Billy Graham sudah menasehati Bush untuk tidak mempermainkan Tuhan (never play God). Namun para pendukungnya dari kubu Kristen fundamentalis justru mendesak Bush untuk menonjolkan tema-tema ideologis-religius guna memenangkan pemilu, kala itu.
Catatan
Dari apa yang sudah diuraikan sebelumnya, bisa ditarik benang merah sebagai penutup tulisan ini.
Pertama, situasi politik Timur Tengah (juga dunia internasional pada umumnya) yang tampak carut-marut sepanjang tahun 2005 bahkan sejak 2001, pada intinya bersumber pada sepak terjang kaum hawkish atau neokonservatif yang praktis mengendalikan politik luar negeri AS, khususnya di Timur Tengah. Ambisi kaum hawkish untuk menguasai sumber minyak di kawasan ini, khususnya di Irak, telah memberikan andil dalam terjadinya pelonjakan harga minyak dunia.
Kedua, kedekatan antara kaum hawkish dan kalangan fundamentalis Kristen serta kaum Zionis garis keras membuat semakin jauhnya penyelesaian konflik Arab-Israel, khususnya Palestina-Israel. Juga, semakin meningkatkan ketegangan di kawasan Teluk Parsi. Sikap keras kaum hawkish yang tidak juga bersedia mengakhiri pendudukan AS atas Irak, terbukti telah mendorong makin kerasnya perlawanan para pejuang Irak (yang oleh kaum neokon dijuluki sebagai ''para teroris'', padahal mereka jelas bukan teroris, karena perjuangan mereka dalam rangka membebaskan Tanah Air sendiri).
Ketiga, AS di bawah kepemimpinan GW Bush --saat itu- yang dikendalikan kaum hawkish mengklaim hendak mempromosikan dan menyebarluaskan demokrasi ke seluruh kawasan Timur Tengah. Namun, dalam realitasnya demokrasi tak lebih hanyalah sebagai kedok untuk menutupi ambisi mereka yang sebenarnya, yaitu menguasai minyak Timur Tengah.
Di satu sisi mereka mencoba memaksakan demokrasi atas negara dan bangsa Irak, sementara di sisi lain mereka justru terus menerus melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap ribuan rakyat sipil Irak. Padahal, demokrasi dan hak-hak asasi manusia jelas tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Keempat, isu terorisme yang terus dimunculkan AS dan kaum hawkish, pada hakikatnya juga dipakai sebagai kedok untuk menutup-nutupi ambisi ekonomi-politik mereka. Mereka terus mengobarkan perang melawan terorisme, namun mereka sendirilah yang sebenarnya mempraktikkan terorisme sampai sekarang.
Ketegangan politik internasional juga dapat kian meningkat jika kaum hawkish terus memaksakan kehendak mereka atas sejumlah isu lain (di luar terorisme), seperti Irak, Afghanistan, Palestina, dan Suriah. (*Riza Sihbudi)