Pamor Presiden Joko Widodo melorot tajam setelah mencalonkan Budi Gunawan, yang tersangkut rekening gendut, sebagai calon Kapolri. Penetapan Budi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian disusul dengan serangan balik polisi pada KPK.
Setelah Budi batal dilantik, polisi menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dengan tuduhan menyuruh melakukan keterangan palsu pada persidangan kasus Pilkada Kotawaringan Barat 2010 di Mahkamah Konstitusi. Langkah Polri ini memicu gelombang protes dari masyarakat karena dianggap sebagai langkah kriminasilasi KPK, seperti kasus Cicak-Buaya pada 2009.
Sikap Jokowi yang berkukuh meneruskan pencalonan Budi dan terkesan melakukan pembiaran setelah Bambang ditangkap memicu banyak kritik. Bahkan muncul banyak lebel atau cap negatif yang dilekatkan pada Mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Inilah beberapa di antaranya:
1. Pelayan Ratu
Istilah ini diangkat oleh pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti. Mengomentari sikap Jokowi yang tak tegas, Ikrar berucap, "Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atau sebagai pelayan ratu," ujar dia, 25 Januari lalu.
2. Kehilangan Nyali
Saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi dikenal dengan keberanian serta kebijakan yang pro rakyat. Tapi dalam kasus Polri vs KPK, ia dinilai sudah kehilangan kedua hal itu. Ia dianggap terus berkompromi dengan kepentingan partai penyokongnya sehingga lembaga-lembaga hukum yang seharusnya jadi pilar antikorupsi menjadi reyot.
"Jokowi telah kehilangan keberanian dan independensi," kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, 25 Januari.
3. Presiden Tanpa Daya
Peneliti Cyrus Network, Hasan Batupahat, mengatakan Presiden Joko Widodo hanya mempunyai jabatan, namun tidak memiliki kekuasaan. Faktanya, kekuasaan dan kewenangan ada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.
"Jokowi presiden tanpa daya," kata dia dalam diskusi "Ada Apa dengan Jokowi" di Eatology Cafe, 25 Januari 2015.pada KMP atau Koalisi Mega Paloh
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, juga ikut geram dengan sikap Jokowi dalam menangani kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri. Denny meminta Jokowi bersikap netral dan tidak tersandera kepentingan politik.
"Jangan memindahkan Istana Negara ke Jalan Teuku Umar (kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri)," kata Denny, 25 Januari. Ia juga khawatir dengan independensi Presiden RI itu. "Jokowi jangan tunduk pada KMP: Koalisi Mega Paloh."
5. Petugas Partai dan Kalah Tegas dari Ketua RT
Kritikan ini diungkapkan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, saat menanggapi penangkapan Bambang oleh Polri. "Pernyataan Jokowi tidak lebih tegas dari seorang Ketua Rukun Tetangga. Kita butuh seorang presiden bukan petugas partai," ujar Anis.
6. Jas Merah
Kritik yang satu ini disampaikan pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, pada 17 Januari lalu. Ia merujuk pada semboyan “Jas Merah” Presiden Soekarno yang berarti 'jangan melupakan sejarah'. "Kalau Jokowi itu ‘jangan sampai Mega marah’," ujar Nico.
7. Tukang Stempel
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, sikap Jokowi yang lamban dalam menyikapi perseturuan Polri dan KPK mengcewakan. Jokowi dinilai tidak pintar memainkan emosi publik menjadi sebuah kebijakan, sehingga ia kehilangan momentum dan kepercayaan rakyat. "Tugas dia seperti tukang cap, tukang stempel," kata Haris dalam diskusi 'Ada Apa dengan Jokowi' di Eatology Cafe, Jakarta Pusat, 25 Januari.
Sumber: tempo